Walau terlambat tiga hari dari jadwal yang direncanakan, akhirnya pemerintah mengumumkan paket deregulasi 7 Juli 1997. Isinya: pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan kesehatan. Deregulasi itu diikuti juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan pengolahan tanah. Namun, bidang otomotif dan kimia, tampaknya pemerintah belum mau “menyentuh” dalam deregulasi yang diumumkan oleh Menko Ekku, Salef Afif, bersama Menperindag Tungky Ariwibowo, Menkeu Mar’ie Muhammad, serta Gubernur Bank Sentral Soedrajad Djiwandono, di Jakarta.
Namun, pengumuman deregulasi masih seperti pengumuman deregulasi sebelumnya, disambut biasa saja dan tanpa arti sama sekali. Bahkan para pengamat memperkiran sentuhan-sentuhan deregulasi belum terlihat pada akar permasalahan, yang saat ini, banyak “melilit” perekonomian Indonesia. Seperti, masih adanya penguasaan sektor ekonomi oleh segelintir orang, tata niaga, serta adanya perlakuan istimewa kepada beberapa pelaku ekonomi.
Kalau pun ada “keran” yang dibuka, itu pun dinikmati oleh segelintir saja. Seperti yang terjadi pada paket deregulasi 3 Juni 1991, pemerintah membuka peluang impor kendaraan niaga kategori I (bobot di bawah 2 ton) hingga kategori V (bobot berat sama dengan bus Mercedes), tapi yang boleh mengimpor adalah agen tunggal dan perusahaan yang mendapatkan “status” importir yang ditunjuk.
Bahkan ada yang mengatakan deregulasi kali ini tidak ada apa-apanya dan masih sama dengan deregulasi sebelumnya. ” Kalau hanya penurunan tarif, itu kan sudah rutin. Ada atau tidak penurunan tarif, hal itu memang sudah harus urun,” kata Faisal H Basri, yang juga ketua JurusanStudi Pembangunan FE UI.
Tampaknya pengumuman deregulasi oleh banyak kalangan masih dinilai sebagai acara rutinitas dibandingkan dengan alasan ekonomis. Ini terlihat tidak adanya prioritas sektor dan komoditas yang dideregulasi. Dan karena itu paket kali ini dianggap sebagai “kosmetik” saja. Para pengamat melihat sentuhan deregulasi belum sampai kepada akar pokok ekonomi Indonesia.
Padahal, hampir setiap tahun pemerintah melakukan deregulasi. Apa saja tindakan deregulasi itu? Berikut beberapa cacatan tentang deregulasi yang pernah dikeluarkan pemerintah dalam dekade 80-an dan 90-an:
Tahun 1983
Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor moneter, khususnya perbankkan, lewat kebijakan 1 Juni 1983. Deregulasi ini menyangkut tiga segi: peningkatan daya saing bank pemerintah, penghapusan pagu kredit, dan pengaturan deposito berjangka. Dalam ketentuan itu, bank pemerintah bebas menentukan suku bunga deposito serta suku bunga kredit. Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat yang memiliki dana nganggur tertarik untuk menyimpan di bank pemerintah. Sebab pada saat itu, suku bunga yang ditawarkan oleh bank swasta lebih tinggi ketimbang bank pemerintah. Yaitu 18 persen, sementara bank pemerintah hanya 14-15 persen.
Tahun 1985
Pemerintah memberlakukan Inpres Nomor 4 Tahun 1985 yang mengalihkan tugas dan wewenang Ditjen Bea dan Cukai (BC) dalam pemeriksaan barang kepada surveyor asing SGS. Ini sama saja dengan pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada pihak asing (SGS) dalam memeriksa barang. Keluarnya Inpres Nomor 4, tak lain sebagai reaksi pemerintah atas penyalahgunaan wewenang oleh BC yang banyak diributkan oleh dunia usaha.
Tahun 1986
Lewat paket kebijakan 6 Mei (Pakem), pemerintah menghapus sertifikat ekspor (SE). SE merupakan fasilitas empuk yang banyak digunakan eksportir untuk memperoleh pengembalian bea masuk dan unsur subsidi, ini diberikan bersamaan dengan kredit ekspor.
Tahun 1987
Pemerintah mengeluarkan deregulasi 15 Januari 1987, tentang industri kendaraan bermotor, mesin industri, mesin listrik, dan tarif bea masuk. Untuk bea masuk, pemerintah memberikan keringanan bea terhadap barang-barang tertentu, seperti Tekstil, kapas, dan besi baja. Sedangkan untuk industri mesin pemerintah memberikan perlakuan kemudahan ijin usaha. Dan untuk industri kendaraan bermotor, pemerintah memberikan kemudahan perakitan kendaraan dan pembuatan dan perakitan bagian kendaraan bermotor.
Juni 1987
Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, lewat PP Nomor 13 Tahun 1987 dan Keppres Nomor 16. Kali ini pemerintah menyederhanakan perijinan investasi bidang pertambangan, pertanian, kesehatan dan perindustrian. Yang semula ada empat ijin investasi, setelah kebijakan itu hanya tinggal dua.
24 Desember 1987
Pemerintah kembali membuat kejutan dengan memberikan kemudahan dan kelonggaran berusaha. Dalam bidang penamanan modal, PMA diperlakukan sama dengan PMDN dalam hal kepemilikan saham. Untuk fasilitas keringanan bea masuk, semula hanya diberikan kepada barang tertentu, kini diberikan keringanan bea masuk untuk semua bidang usaha yang diijinkan. Untuk ekspor, pemerintah menghapus semua perijinan ekspor dan menggantinya dengan ijin usaha. Sementara perusahaan asing yang sudah berproduksi dan bisa ekspor, diijinkan untuk membeli hasil produksi perusahaan lain untuk di ekspor. Sedangkan bidang ekspor, PT Kratau Steel yang selama itu ditunjuk sebagai pelaksana 92 komoditi produk industri logam, dengan kebijakan baru hak impornya hanya tinggal 50 komoditi. Dan untuk bidang pariwisata yang semula ada 33 jenis ijin, dengan kebijakan Desember itu, dipotong tinggal dua ijin.
Tahun 1988
Inilah tahun booming dunia perbankan Indonesia. Bayangkan, hanya dengan modal Rp 10 milyar, seorang pengusaha punya pengalaman atau tidak sebagai bankir, sudah bisa mendirikan bank baru. Maka, tak pelak lagi berbagai macam bentuk dan nama bank baru bermunculan bagai jamur di musim hujan. Itulah salah satu bentuk kebijakan deregulasi 27 Oktober 1988, atau yang dikenal dengan sebutan Pakto 88. Tak hanya itu, bank asing yang semula hanya beroperasi di Jakarta, kini bisa merentangkan sayapnya ke daerah lain di luar Jakarta. Sementara untuk mendirikan bank perkreditan, modal yang disetor menurut Pakto 88, hanya Rp 50 juta seseorang sudah bisa punya bank BPR.
21 November 1988
Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi, yang berisi pengikisan berbagai rintangan yang selama ini malang-melintang di sekitar arus distribusi barang dan angkutan laut, pemudahan distribusi arus barang produk pabrik-pabrik modal asing, penurunan bea masuk bahan baku plastik dari 30-60 persen menjadi lima persen. Lalu, terhadap kritikan monopoli PT Krakatau Steel, lewat paket November ini, pemerintah membabat 26 jenis tarif pos. Dengan penghapusan itu, pabrik-pabrik boleh impor besi baja untuk pengecoran, yang selama ini dikuasai oleh buatan pabrik baja di Cilegon itu.
Analisa : Pada era 80-an kondisi perekonomian Indonesia tidak stabil.Hal ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan paket deregulasi perbannkan yang dianggap mampu mengurangi kondisi perekonomian yang buruk.Ada beberapa deregulasi yang dilakukan pemerintah antara lain dilakukan disektor perbannkan antara lain peninggkatan daya saing bank sehinnga bank pemerintah mampu bersaing dengan bank swasta. Dimana dalam hai ini bank pemerintah bebas untuk menentukan suku bunga deposito dan suku bunga kredit dimana dengan adanya deregulasi ini masyarakat diharappkan tertarik untuk menyimpan di Bank Pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar